In Memoriam |
Sudah lama aku tidak bertemu Mbah Maridjan, dikarenakan aku
harus pergi ke luar kota menuntut ilmu. Setelah gempa di Jogja yang membikin
hati miris itu, pesantren tempat aku belajar libur, semua santri disuruh
pulang. Aku segera teringat Mbah Maridjan, bagaimana kabar orang tua itu yang
dulu sering mengajari aku filsafat Jawa.
Tergopoh2 aku menemui Mbah Maridjan, kucari tadi di rumahnya
beliau tidak ada. Setengah berlari aku menyusuri pematang sawah yang masih agak
basah, sambil sesekali menghirup aroma batang padi yang merasuk. Kata tetangga
Mbah Maridjan, beliau sering menyendiri di gubug di tengah sawah kalau sore2
begini. Dari jauh sudah kulihat gubug kecil beratapkan daun kelapa dan damen (
batang padi kering). Setelah dekat, kulihat Mbah Maridjan yang sedang
menyalakan rokok lintingannya. Baunya menyengat, tetapi segar apalagi ditambah
suasana sore yang semilir.
“ Mbah, Mbah, bagaimana ini Mbah, musibah datang silih
berganti, sepertinya sudah waktunya kita melakukan tobat nasional. Mbah
Maridjan malah tenang2 saja”
“ Musibah itu bisa jadi rahmat,
sebagaimana rahmat juga bisa jadi musibah. Ini hanya kejadian alam biasa Le.”
“ Gimana sih Mbah, musibah ini
peringatan dari Tuhan Mbah atas dosa2 kita, sekaligus juga ujian apakah kita
tabah menghadapi musibah.”
“ Tuhan pun tak sanggup menerima
musibah, Le”
Aku seperti ditampar langsung di
otakku, apa pula maksud Mbah Maridjan ini.
“ Hhhmm, maksud Mbah Maridjan…?”
“ Tuhan itu Le, baru diduakan saja sudah marah2, baru
perintahnya tidak dilaksanakan saja sudah ngirim bencana, lha piye…Tuhannya
saja nggak tabah, ciptaannya bisa lebih gak tabah lagi”
“ Sebentar2, aku masih tidak
mengerti apa maksud Mbah Maridjan.”
“ Kamu ini pancen bodho Le, kamu ingat kisah Adam dan Hawa,
yang dikeluarkan dari surga hanya karena makan buah Khuldi yang terlarang itu,
itu kan kesalahan sepele, tapi Tuhan marah, terus Adam dan Hawa ditundung dari
surga. Terus kamu ingat kisah Iblis dan Adam, Iblis disuruh menghormati Adam,
suruh sujud di depan Adam, lha wong Iblis itu pinter, ya dia nggak mau, dia
hanya mau sujud dan hormat kepada Tuhan, lagi2 Tuhan marah, purik, akhirnya
Iblis dilaknat. Ingat pulakah kau tentang Sodom dan Gomora, hanya karena
homoseksualitas saja seluruh kota dihancurkan. Tuhannya saja kurang dewasa,
jangan pula salahkan umatnya kalau kekanak2an. “
Aku hanya bengong, mendengarkan
tutur kata Mbah Maridjan yang mengalir sambil mengepulkan asap rokok kretek di
jari2 tangannya. Sungguh2 gila Mbah Maridjan ini, berani2nya menggoyang tahta
diktatur Tuhan.
“ Aceh sudah lebur, Jogja sudah
hancur, Merapi njeblug, kita harus lebih banyak berdoa Mbah Maridjan, supaya
Tuhan mengampuni dosa2 kita.”
“ Hahahahahaha…………………..”
Mbah Maridjan tertawa terkekeh2,
sampai terbatuk2, sambil melihat dengan pandangan lucu kepadaku.
“ Kamu ini Le, produk jaman modern koq berpikirnya idiot
kaya gitu. Kalau banyak orang berdosa, dosa mereka kan kepada alam dan sesama
manusia. Minta ampun lah kepada alam, dengan merawat mereka dengan baik,
menjadi bagian dari alam bukan malah memperkosanya. Minta ampunlah kepada
manusia2, berhenti korupsi, bantulah para fakir miskin, peliharalah yatim
piatu, jalankan negara dengan jujur dan bersih. Itu yang namanya mohon ampun,
kalau mohon ampunnya cuma sama Tuhan, kamu malah akan ditertawakan sama Dia.”
“ Ya, tapi Mbah Maridjan, kita
perlu pertolongan Tuhan untuk bisa lepas dari derita ini.”
“ Percayalah Le, Tuhan itu egois. Kita harus membantu diri
kita sendiri, kamu boleh minta tolong sampai air matamu habis, tapi kalau kamu
tidak memperbaiki dirimu sendiri, ya percuma. Lihat itu orang Jepang, kena
gempa mereka itu, tapi terus mereka belajar, bikin gedung dan rumah yang tahan
gempa. Lihat orang Belanda, kena banjir banding mereka itu, tapi mereka
bangkit, bikin dam2 raksasa, sekarang selamatlah mereka dari petaka banjir.
Lihat orang2 Eropa, dikaruniai penyakit pes, sampai separuh penduduknya mati,
tapi mereka memperbaiki diri, dan hidup sehatlah mereka sekarang.
Bencana itu untuk dipelajari, bukan
untuk disesali.”
Dongkol hatiku bukan main sama Mbah Maridjan, dari dulu dia
selalu bisa membolak-balik perpektif. Dan dia sudah berani mempermainkan syaraf
otakku sekarang, tapi aku berusaha menguasai diriku.
“Mbah, kita ini manusia yang egois. Tuhan telah menciptakan
alam dengan sempurna, dan menitahkan kita sebagai kalifahnya di dunia ini.
Kitalah yang telah tidak sanggup memegang amanat Tuhan itu.”
Mbah Maridjan kembali meringis,
seolah mengejek. Matanya yang kecil bulat itu menatap jauh ke hamparan sawah di
depannya.
“ Oalah Le, kalau mau jujur sih. Karena konsep Tuhan itu
diejawantahkan oleh manusia yang egosentris, akhirnya manusia tambah kelihatan
egois. Seharusnya kau yang sekolah itu tahu hal kayak gitu, dan itu pandangan
antroposentrismu, kuno sekali cara berpikirmu Le. Manusia itu bagian alam Le,
bukan penguasa alam.”
“ Ya biarin Mbah, pandangan
antroposentris kan lebih baik daripada percaya hal2 mistis kaya sampeyan, ada
Nyi Roro Kidul, Tombak Kiai Plered, Kebo Kiai Slamet hahahaha………., kebo koq
dianggep kiai.”
“ Lho siapa bilang Mbah percaya sama Nyi Roro Kidul, Nyi
Roro Kidul itu kan cuman mitos Le, para kawulo cilik seperti kita ini kan
sering ditipu sama para penggede2 istana. Raja2 Mataram jaman dulu malu karena
di Segoro Lor (Laut Jawa= red) mereka kalah dengan tentara Kumpeni Walanda dan
tentara Portugis, jadi mereka menghibur diri dengan menciptakan mitos Nyi Roro
Kidul, seolah2 mereka masih menguasai Segoro Kidul (Samudra Hindia= red),
memperistri penguasa Segoro Kidul.
Cilokone, kita semua percaya adanya Nyi Roro Kidul, kekuatan pusaka2,
kita ini memang bodho koq Le, wis bodho mbodhoni wong mesisan.”
Lagi2 Mbah Maridjan bikin aku
klenger, dia bilang dia tidak percaya Nyi Roro Kidul, ngoyoworo (mengada2) saja
Mbah tua satu ini.
“ Mbah, musibah demi musibah ini
menyelimuti kita, kita harus bergerak
Mbah.”
“ Simbah di sini saja Le, mengabdikan diri untuk penduduk
Merapi. Kamu yang masih muda yang harus bergerak, sadarkan orang dari tidurnya,
sadarkan orang dari sikap fatalis menghadapi musibah. Sudah sana, belajar yang
bener, santri kalau kerjaannya main PS terus ya kayak kamu ini jadinya. Ilmune
nggedabus, pangertene mbladhus. Belajar
sana bagaimana mengatur bantuan yang tepat guna dan tepat sasaran, jangan hanya
kitab kuning kau pelajari, kitab putih pun harus kau pelajari, dan jangan lupa
sekarang banyak kitab digital yang bisa dipelajari.“
Sambil menggerakkan tangannya
menyuruh aku pergi, Mbah Maridjan merogoh sakunya, dikeluarkannya selembar duit
50 ribu.
“ Ini hanyalah lembaran 50 ribuan Le, kuserahkan padamu.
Duit ini akan benar2 jadi milikmu kalau kamu memberikannya kepada yang
membutuhkan, banyak itu sepanjang kaki Merapi.”
Dilemparkannya duit itu
kepadaku, aku mengambilnya sambil bingung memikirkan apa maksud kata2 Mbah
Maridjan yang terakhir tadi.
hahaha....bagus banget ceritanya, byk sisipan renungan di setiap alinea nya. meskipun dgn kata2 yg sidikit saru, tp jgn khawatir. saya masih bisa memetakan stiap huruf nya.
ReplyDeletemudah2an Tuhan tidak tersinggung dgn komentarku ini. :p
wah cerita yang bagus nih sobat.. bisa buat pencerahan juga buat kita..
ReplyDeletewah cerita yang bagus nih sobat.. bisa buat pencerahan juga buat kita..
ReplyDeletekata2nya masuk diakal, tapi (alm) mbah Marijan juga berbicara atas dasar pola fikir dan logikanya sendiri. jadi jika mendiang percaya bahwa ia juga ciptaan Tuhan maka saya juga berfikir betapa maha kuasanya Tuhan memberikan pola fikir dan logika yang menurut kadar manusia itu masuk akal. Namun saya masih percaya bahwa apa yang tidak mungkin oleh manusia adalah mungkin oleh Tuhan.
ReplyDeletependapat lainnya silahkan share!
nice write sobat!
Iya, pastes Putra itu seneng marah, la yang nyiptain aja juga gak sabar :p
ReplyDeleteotak saya bekerja membaca tulisan ini
ReplyDeleteCerita nya keren nih. Kirim aja ke jawapos.
ReplyDeleteAgak absurd ya :)
ReplyDelete